Senin, 07 Mei 2012

Berpikir Lateral dalam Menulis

APA yang kita akan tulis dari tema "macet"? Kebanyakan dari peserta yang pernah saya training akan menghasilkan tulisan mendalam soal lalu lintas macet. Kemudian, dari tema kemacetan lalu lintas itu penulis mampu melahirkan angka-angka tentang konsumsi bahan bakar yang terbuang. Ada juga yang kemudian mengaitkannya dengan jumlah gas CO2 yang terhirup dalam paru-paru. Tulisan-tulisan seperti itu adalah tulisan mendalam, dan memiliki manfaat baik untuk dibaca. Akan tetapi tulisan seperti ini masih dalam alur linear. Tidak banyak yang menulis artikel soal macetnya ball point, sehingga menggagalkan sebuah acara penandatanganan. Atau misalnya, macetnya berpikir..dan sebagainya. Atau soal kredit macet.. Berapa banyak dari kita akan menggambarkan gunung, matahari dan pohon ketika kita diminta menggambar pemandangan? Kebanyakan dari kita menggambar pemandangan seperti tiu. Selama ini benak kita sudah terbelenggu oleh pemahaman soal macet ini dikaitkan dcengan kemacetan lalu lintas. Sejak kecil juga dalam benak kita ditanamkan bahwa pemandangan adalah gunung, matahari dan pohon. Tanpa terasa, pemahaman ini mengendap dalam alam bawah sadar kita. Sangat jarang kita memandang satu masalah dari sudut yang berbeda, atau dalam bahasa Edward de Bono, berpikir lateral. Berpikir lateral adalah berpikir tidak dalam garis lurus linear, akan tetapi melompat ke samping, mencari sudut pandang baru. Dalam bahasa lainnya out of the box. Ini adalah cara berpikir non konvensional, mungkin dianggap nyeleneh. Cara berpikir seperti ini bukan cara berpikir mendalam, akan tetapi meragam (sudut pandang). Penulis-penulis besar, biasanya memiliki dua kemampuan ini: linear dan lateral, sehingga karya tulis mereka (fiksi maupun non fiksi) menjadi terkenal. Kawan saya Pepih Nugraha memberikan contoh yang baik. Film Benyamin Button terasa lateral. Selama ini orang lahir, dari bayi menjadi dewasa, kemudian menjadi kakek-kakek dan meninggal. Akan tetapi si penulis mencoba cara berpikir lain. Bagaimana Benyamin lahir dengan fisik seperti kakek-kakek, kemudian tumbuh menjadi pemuda, dan akhirnya menjadi bayi. Dulu Eisntein juga ditertawakan ketika masih anak-anak. Sementara kawan-kawannya berkhayal mengendarai kereta api, Einstein berkhayal mengendarai cahaya! Kunci dari kebaruan ide adalah kebebasan berpikir. Mungkin masyarakat kita akan menertawakan orang yang berkhayal tentang proses pertumbuhan ala Benyamin Button. Karena itu, kalau anak-anak kita berkhayal, jangan disalahkan. Biarkan dia menggambar kuda dengan ekornya di depan, atau mengaran orang yang mati jadi hidup lagi.... Intinya adalah perbaruilah ide-ide Anda dengan sudut pandang baru...maka karya Anda akan menarik perhatian orang...

Sabtu, 26 Juli 2008

Intelektual Publik (12)

KITA ulang syarat intelektual publik: pengetahuan, otoritas, isu aktual (issues of the day), dan bahasa populer. Kita sudah membahas soal pengetahuan dan otoritas. Nah...kini kita bahas isu aktual.
Artikel di media massa itu sangat terkait dengan berita. Istilahnya, artikel itu adalah newspeg. Jadi, kalau sekarang lagi rame soal korupsi, jangan menulis soal bencana alam. Begitu pula sebaliknya.
Namun artikel bisa juga tidak bersifat newspeg, akan tetapi bisa terkait dekat dengan pembaca media tersebut. Misalnya, ketika koran Pikiran Rakyat yang terbit di Bandung sedang giatnya menurunkan tulisan tentang kenaikan bahan bakar minyak (BBM), tiba-tiba ada seorang ahli geologi ITB mengirimkan tulisan tentang teori baru tentang bagaimana mengeringnya danau Bandung purba. Selama ini orang Bandung yakin bahwa danau purba mengering melalui sebuah celah sungai Citarum yang bernama Sanghyang Tikoro. Namun, teori baru itu dibantah oleh geolog ini. Sang geolog menyebutkan, keringnya danau Bandung tidak melewati Sanghyang Tikoro, akan tetapi melalui daerah lain.
Tulisan di atas tentu tidak aktual dan tidak bersifat newspeg, namun sangat terkait dengan pemahamam lingkungan orang Bandung. Jadi, tetap menarik untuk ditulis.*** (bersambung...)

Kamis, 24 Juli 2008

Intelektual Publik (11)

BERDASARKAN gambaran konsep level analysis intelektual publik pada Intelektual Publik (10), maka saya ingin melengkapinya dengan contoh konkret. Untuk mudahnya, silakan perhatikan gambar ini:



Untuk mengukur kesehatan sebuah perusahaan, para ekonom telah mengajuk konsep CAMEL (capital, asset, manajemen, ekuiti, dan likuiditas). Saya bayangkan, para ekonom dan akuntan ini mengajukan konsep ini beserta penjelasan-penjelasan metode, perhitungan-perhitungan akutansi, dan lain-lain. Mungkin juga mereka mengerahkan perhitungan-perhitungan matematika ekonomi dan sederet perhitungan konseptual lainnya. Misalkan, apa sih yang disebut aset, apa itu tangible assets, atau intangible assets. Apa itu likuiditas: apakah deposito bisa digolongkan sebagai uang siap cair (likuid), ataukan yang disebut likuid itu uang cash di tangan (cash on hand)?
Ada juga ekonom yang mengajukan konsep return on asset (ROA) untuk mengukur berapa tambahan pendapatan dari setiap penambahan aset. Atau return on investment (ROI), yang mengukur berapa besar tambahan pendapatan dari setiap penambahan investasi.
Tentu saja hal-hal seperti itu terlalu konseptual, dan bukan menjadi urusan publik. Perdebatan seperti itu sangat cocok ditampilkan dalam jurnal ilmiah. Tentu saja yang bisa menikmati perdebatan ini adalah orang-orang terbatas, yaitu kelompok akademis atau ekonom saja.
Namun, ketika kita menggunakan konsep kesehatan perusahaan di atas untuk menyoroti kesehatan BUMN, dan misalkan kesimpulannya adalah bahwa rata-rata BUMN kita tidak sehat, maka tulisan itu sudah mulai cair. Pembacanya mulai meluas, tapi masih terbatas, yaitu para pembaca yang berpendidikan agak tinggi. Sedangkan orang-orang biasa (man on the street) belum tentu tertarik.
Nah, ketika kita mulai menarik lagi konsep itu ke bawah, maka pembacanya akan meluas. Misalkan perusahaan listrik negara (maaf pak PLN, ini contoh) kekurangan likuiditas. Untuk mengatasi itu, maka perusahaan listrik diperkirakan akan menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Maka tentu saja tarif listrik adalah menyangkut kepentingan semua orang. Tentu semua orang akan menikmati tulisan ini.
Jadi, untuk menulis populer dan menulis opini di media massa, bergeraklah dari level dua ke bawah. Jangan menulis di level atas.***(bersambung...)

Minggu, 06 Juli 2008

Intelektual Publik (10)

KALAU kita kembali ke definisi New York Times, syarat lain untuk disebut sebagai intelektual publik adalah bahwa dia mampu membahas persoalan-persoalan aktual atau issues of the day. Membahas isu aktual tanpa menyertakan pembahasan metodologi atau konsep sehingga bisa diterima publik.
Saya mencoba membuat model level analysis intelektual publik seperti di bawah ini:

Gambar di atas adalah model dua segi tiga yang saling terbalik. Model ini menggambarkan hubungan antara isu level isu yang dibahas dengan kemungkinan jumlah audience-nya.
Kalau kita menulis hal-hal konseptual (pada blok paling atas dari kedua segitiga), maka di sebelah kanan akan terlihat bahwa audience-nya terbatas. Paling yang tertarik membaca adalah para pakar di bidangnya. Publik tidak ada urusannya dengan tulisan-tulisan semacam ini. Tulisan-tulisan seperti itu adalah porsinya jurnal ilmiah (scholar journal).
Pada level yang lebih rendah, misalkan si intelektual publik sudah mulai mengoperasionalkan konsep itu menjadi semi konseptual dalam menganilisis persoalan aktual, maka pembacanya sudah mulai meluas, namun masih terbatas. Audience-nya sudah mulai meluas, tidak hanya kaum akademis atau kawan se level, namun juga publik kalangan intelektual menengah ke atas.
Nah...jika si intelektual publik sudah mulai semakin mengoperasionalkan konsep dalam membahas persoalan sehingga menyentuh kepentingan publik, maka tulisannya akan dibaca oleh semua kalangan (all audiences).
Intelektual publik bergerak dari level dua ke bawah. Dia tidak mengawang-awang di level atas. Level dua ke bawah adalah ruang gerak intelektual publik.
Karena itu, jika Anda ingin menulis di media, jangan menulis seperti textbook atau skripsi. Pasti redaktur akan malas menerimanya. Begitu juga kalau Anda berbicara, jangan yang mengawang-awang, karena ruang publik bukan ruang kelas pelajaran filsafat.
Di seri berikutnya, saya akan memberi contoh kasus.***
(bersambung...)

Jumat, 04 Juli 2008

Intelektual Publik (9)

Jangan Jadi Intelektual Selebriti
Jangan Juga Big Brain Small Impact


JANGAN sering ingin muncul di media massa atau di depan publik, nanti kita akan terjerembab jadi intelektual selebriti. Seorang intelektual publik harus tahu kapan dia muncul di depan publik, atau di media massa.
Banyak teman-teman IT di ITB mencak-mencak kepada Roy Suryo. Mereka menuding Roy tidak punya kompetensi. Mereka menilai Roy lebih sebagai seorang selebriti, karena Roy selalu berusaha tampil di setiap momen: infotainment, pencarian black box Adam Air, sampai penemuan lagu Indonesia Raya versi yang lain dari yang sekarang.
Namun, teman-teman di ITB hanya bisa ngomel-ngomel. Mereka jarang menuliskan pendapatnya ini di media massa. Ya akibatnya, Roy lah yang menguasai jagat opini per-telematika-an.
Mungkin benar Roy adalah intelektual selebriti, namun teman-teman ITB yang enggan jadi intelektual publik juga bisa kita golongkan ke dalam kaum Big Brain, Small Impact.***(bersambung...)