KITA ulang syarat intelektual publik: pengetahuan, otoritas, isu aktual (issues of the day), dan bahasa populer. Kita sudah membahas soal pengetahuan dan otoritas. Nah...kini kita bahas isu aktual.
Artikel di media massa itu sangat terkait dengan berita. Istilahnya, artikel itu adalah newspeg. Jadi, kalau sekarang lagi rame soal korupsi, jangan menulis soal bencana alam. Begitu pula sebaliknya.
Namun artikel bisa juga tidak bersifat newspeg, akan tetapi bisa terkait dekat dengan pembaca media tersebut. Misalnya, ketika koran Pikiran Rakyat yang terbit di Bandung sedang giatnya menurunkan tulisan tentang kenaikan bahan bakar minyak (BBM), tiba-tiba ada seorang ahli geologi ITB mengirimkan tulisan tentang teori baru tentang bagaimana mengeringnya danau Bandung purba. Selama ini orang Bandung yakin bahwa danau purba mengering melalui sebuah celah sungai Citarum yang bernama Sanghyang Tikoro. Namun, teori baru itu dibantah oleh geolog ini. Sang geolog menyebutkan, keringnya danau Bandung tidak melewati Sanghyang Tikoro, akan tetapi melalui daerah lain.
Tulisan di atas tentu tidak aktual dan tidak bersifat newspeg, namun sangat terkait dengan pemahamam lingkungan orang Bandung. Jadi, tetap menarik untuk ditulis.*** (bersambung...)
Sabtu, 26 Juli 2008
Kamis, 24 Juli 2008
Intelektual Publik (11)
BERDASARKAN gambaran konsep level analysis intelektual publik pada Intelektual Publik (10), maka saya ingin melengkapinya dengan contoh konkret. Untuk mudahnya, silakan perhatikan gambar ini:
Untuk mengukur kesehatan sebuah perusahaan, para ekonom telah mengajuk konsep CAMEL (capital, asset, manajemen, ekuiti, dan likuiditas). Saya bayangkan, para ekonom dan akuntan ini mengajukan konsep ini beserta penjelasan-penjelasan metode, perhitungan-perhitungan akutansi, dan lain-lain. Mungkin juga mereka mengerahkan perhitungan-perhitungan matematika ekonomi dan sederet perhitungan konseptual lainnya. Misalkan, apa sih yang disebut aset, apa itu tangible assets, atau intangible assets. Apa itu likuiditas: apakah deposito bisa digolongkan sebagai uang siap cair (likuid), ataukan yang disebut likuid itu uang cash di tangan (cash on hand)?
Ada juga ekonom yang mengajukan konsep return on asset (ROA) untuk mengukur berapa tambahan pendapatan dari setiap penambahan aset. Atau return on investment (ROI), yang mengukur berapa besar tambahan pendapatan dari setiap penambahan investasi.
Tentu saja hal-hal seperti itu terlalu konseptual, dan bukan menjadi urusan publik. Perdebatan seperti itu sangat cocok ditampilkan dalam jurnal ilmiah. Tentu saja yang bisa menikmati perdebatan ini adalah orang-orang terbatas, yaitu kelompok akademis atau ekonom saja.
Namun, ketika kita menggunakan konsep kesehatan perusahaan di atas untuk menyoroti kesehatan BUMN, dan misalkan kesimpulannya adalah bahwa rata-rata BUMN kita tidak sehat, maka tulisan itu sudah mulai cair. Pembacanya mulai meluas, tapi masih terbatas, yaitu para pembaca yang berpendidikan agak tinggi. Sedangkan orang-orang biasa (man on the street) belum tentu tertarik.
Nah, ketika kita mulai menarik lagi konsep itu ke bawah, maka pembacanya akan meluas. Misalkan perusahaan listrik negara (maaf pak PLN, ini contoh) kekurangan likuiditas. Untuk mengatasi itu, maka perusahaan listrik diperkirakan akan menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Maka tentu saja tarif listrik adalah menyangkut kepentingan semua orang. Tentu semua orang akan menikmati tulisan ini.
Jadi, untuk menulis populer dan menulis opini di media massa, bergeraklah dari level dua ke bawah. Jangan menulis di level atas.***(bersambung...)
Untuk mengukur kesehatan sebuah perusahaan, para ekonom telah mengajuk konsep CAMEL (capital, asset, manajemen, ekuiti, dan likuiditas). Saya bayangkan, para ekonom dan akuntan ini mengajukan konsep ini beserta penjelasan-penjelasan metode, perhitungan-perhitungan akutansi, dan lain-lain. Mungkin juga mereka mengerahkan perhitungan-perhitungan matematika ekonomi dan sederet perhitungan konseptual lainnya. Misalkan, apa sih yang disebut aset, apa itu tangible assets, atau intangible assets. Apa itu likuiditas: apakah deposito bisa digolongkan sebagai uang siap cair (likuid), ataukan yang disebut likuid itu uang cash di tangan (cash on hand)?
Ada juga ekonom yang mengajukan konsep return on asset (ROA) untuk mengukur berapa tambahan pendapatan dari setiap penambahan aset. Atau return on investment (ROI), yang mengukur berapa besar tambahan pendapatan dari setiap penambahan investasi.
Tentu saja hal-hal seperti itu terlalu konseptual, dan bukan menjadi urusan publik. Perdebatan seperti itu sangat cocok ditampilkan dalam jurnal ilmiah. Tentu saja yang bisa menikmati perdebatan ini adalah orang-orang terbatas, yaitu kelompok akademis atau ekonom saja.
Namun, ketika kita menggunakan konsep kesehatan perusahaan di atas untuk menyoroti kesehatan BUMN, dan misalkan kesimpulannya adalah bahwa rata-rata BUMN kita tidak sehat, maka tulisan itu sudah mulai cair. Pembacanya mulai meluas, tapi masih terbatas, yaitu para pembaca yang berpendidikan agak tinggi. Sedangkan orang-orang biasa (man on the street) belum tentu tertarik.
Nah, ketika kita mulai menarik lagi konsep itu ke bawah, maka pembacanya akan meluas. Misalkan perusahaan listrik negara (maaf pak PLN, ini contoh) kekurangan likuiditas. Untuk mengatasi itu, maka perusahaan listrik diperkirakan akan menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Maka tentu saja tarif listrik adalah menyangkut kepentingan semua orang. Tentu semua orang akan menikmati tulisan ini.
Jadi, untuk menulis populer dan menulis opini di media massa, bergeraklah dari level dua ke bawah. Jangan menulis di level atas.***(bersambung...)
Minggu, 06 Juli 2008
Intelektual Publik (10)
KALAU kita kembali ke definisi New York Times, syarat lain untuk disebut sebagai intelektual publik adalah bahwa dia mampu membahas persoalan-persoalan aktual atau issues of the day. Membahas isu aktual tanpa menyertakan pembahasan metodologi atau konsep sehingga bisa diterima publik.
Saya mencoba membuat model level analysis intelektual publik seperti di bawah ini:
Gambar di atas adalah model dua segi tiga yang saling terbalik. Model ini menggambarkan hubungan antara isu level isu yang dibahas dengan kemungkinan jumlah audience-nya.
Kalau kita menulis hal-hal konseptual (pada blok paling atas dari kedua segitiga), maka di sebelah kanan akan terlihat bahwa audience-nya terbatas. Paling yang tertarik membaca adalah para pakar di bidangnya. Publik tidak ada urusannya dengan tulisan-tulisan semacam ini. Tulisan-tulisan seperti itu adalah porsinya jurnal ilmiah (scholar journal).
Pada level yang lebih rendah, misalkan si intelektual publik sudah mulai mengoperasionalkan konsep itu menjadi semi konseptual dalam menganilisis persoalan aktual, maka pembacanya sudah mulai meluas, namun masih terbatas. Audience-nya sudah mulai meluas, tidak hanya kaum akademis atau kawan se level, namun juga publik kalangan intelektual menengah ke atas.
Nah...jika si intelektual publik sudah mulai semakin mengoperasionalkan konsep dalam membahas persoalan sehingga menyentuh kepentingan publik, maka tulisannya akan dibaca oleh semua kalangan (all audiences).
Intelektual publik bergerak dari level dua ke bawah. Dia tidak mengawang-awang di level atas. Level dua ke bawah adalah ruang gerak intelektual publik.
Karena itu, jika Anda ingin menulis di media, jangan menulis seperti textbook atau skripsi. Pasti redaktur akan malas menerimanya. Begitu juga kalau Anda berbicara, jangan yang mengawang-awang, karena ruang publik bukan ruang kelas pelajaran filsafat.
Di seri berikutnya, saya akan memberi contoh kasus.***
(bersambung...)
Saya mencoba membuat model level analysis intelektual publik seperti di bawah ini:
Gambar di atas adalah model dua segi tiga yang saling terbalik. Model ini menggambarkan hubungan antara isu level isu yang dibahas dengan kemungkinan jumlah audience-nya.
Kalau kita menulis hal-hal konseptual (pada blok paling atas dari kedua segitiga), maka di sebelah kanan akan terlihat bahwa audience-nya terbatas. Paling yang tertarik membaca adalah para pakar di bidangnya. Publik tidak ada urusannya dengan tulisan-tulisan semacam ini. Tulisan-tulisan seperti itu adalah porsinya jurnal ilmiah (scholar journal).
Pada level yang lebih rendah, misalkan si intelektual publik sudah mulai mengoperasionalkan konsep itu menjadi semi konseptual dalam menganilisis persoalan aktual, maka pembacanya sudah mulai meluas, namun masih terbatas. Audience-nya sudah mulai meluas, tidak hanya kaum akademis atau kawan se level, namun juga publik kalangan intelektual menengah ke atas.
Nah...jika si intelektual publik sudah mulai semakin mengoperasionalkan konsep dalam membahas persoalan sehingga menyentuh kepentingan publik, maka tulisannya akan dibaca oleh semua kalangan (all audiences).
Intelektual publik bergerak dari level dua ke bawah. Dia tidak mengawang-awang di level atas. Level dua ke bawah adalah ruang gerak intelektual publik.
Karena itu, jika Anda ingin menulis di media, jangan menulis seperti textbook atau skripsi. Pasti redaktur akan malas menerimanya. Begitu juga kalau Anda berbicara, jangan yang mengawang-awang, karena ruang publik bukan ruang kelas pelajaran filsafat.
Di seri berikutnya, saya akan memberi contoh kasus.***
(bersambung...)
Jumat, 04 Juli 2008
Intelektual Publik (9)
Jangan Jadi Intelektual Selebriti
Jangan Juga Big Brain Small Impact
JANGAN sering ingin muncul di media massa atau di depan publik, nanti kita akan terjerembab jadi intelektual selebriti. Seorang intelektual publik harus tahu kapan dia muncul di depan publik, atau di media massa.
Banyak teman-teman IT di ITB mencak-mencak kepada Roy Suryo. Mereka menuding Roy tidak punya kompetensi. Mereka menilai Roy lebih sebagai seorang selebriti, karena Roy selalu berusaha tampil di setiap momen: infotainment, pencarian black box Adam Air, sampai penemuan lagu Indonesia Raya versi yang lain dari yang sekarang.
Namun, teman-teman di ITB hanya bisa ngomel-ngomel. Mereka jarang menuliskan pendapatnya ini di media massa. Ya akibatnya, Roy lah yang menguasai jagat opini per-telematika-an.
Mungkin benar Roy adalah intelektual selebriti, namun teman-teman ITB yang enggan jadi intelektual publik juga bisa kita golongkan ke dalam kaum Big Brain, Small Impact.***(bersambung...)
Jangan Juga Big Brain Small Impact
JANGAN sering ingin muncul di media massa atau di depan publik, nanti kita akan terjerembab jadi intelektual selebriti. Seorang intelektual publik harus tahu kapan dia muncul di depan publik, atau di media massa.
Banyak teman-teman IT di ITB mencak-mencak kepada Roy Suryo. Mereka menuding Roy tidak punya kompetensi. Mereka menilai Roy lebih sebagai seorang selebriti, karena Roy selalu berusaha tampil di setiap momen: infotainment, pencarian black box Adam Air, sampai penemuan lagu Indonesia Raya versi yang lain dari yang sekarang.
Namun, teman-teman di ITB hanya bisa ngomel-ngomel. Mereka jarang menuliskan pendapatnya ini di media massa. Ya akibatnya, Roy lah yang menguasai jagat opini per-telematika-an.
Mungkin benar Roy adalah intelektual selebriti, namun teman-teman ITB yang enggan jadi intelektual publik juga bisa kita golongkan ke dalam kaum Big Brain, Small Impact.***(bersambung...)
Rabu, 02 Juli 2008
Intelektual Publik (8)
Jalur Otoritas
KALAU saya transformasikan pemikiran Alan Lightman ke dalam bentuk visual, kira-kira grafisnya akan seperti di bawah ini.
Hierarkhi I dan II memerlukan otoritas (atau kalau menurut komentar pak Nanang, kompetensi). Tujuannya, agar si pemikir itu menjadi referens publik untuk isu-isu tertentu.
Hierarkhi III dicapai ketika ada public invitation, atau permintaan/undangan publik. Memasuki hierarki III ini, jalurnya berwarna biru. Artinya seseorang sudah menjadi simbol masyarakat. Dia yang menyuarakan sakit atau gembiranya rakyat.
Berwarna biru, karena saya ingin menekankan bahwa meskipun ada permintaan publik, maka si intelektual itu harus mempertimbangkan masak-masak. Di situ ada titik kritis yang menentukan kebesaran nama dia.
Begitu ada permintaan publik supaya Anda berbicara di luar otoritas Anda, maka pikirkanlah dengan matang apakah Anda akan menerima atau menolak.
Bila Anda menerima, maka sadarlah bahwa Anda menapaki jalur biru. Perhatikan garis responsibility nya pun makin meningkat. Ketika Anda menjadi simbol, maka tanggungjawab moral dan sosialnya ikut meningkat.
Nah...jika di jalur biru ini seorang intelektual melakukan kesalahan, atau sesuatu yang menurut publik salah, maka habislah dia.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), saya ingin mencontohkan sebuah pelajaran berharga. Aa Gym sebetulnya sudah menjadi simbol, meski bukan berangkat dari jalur intelektual publik.
Ketika beliau melakukan sesuatu yang dianggap salah (poligami), maka runtuhlah citra yang sudah belasan tahun dia bangun. Nama beliau sudah tidak kredibel lagi di mata publik. Beberapa contoh lain, Ibu Lutfiah Sungkar yang perceraiannya menjadi bulan-bulanan infotainment. Juga ada Amir Santoso yang hampir jadi profesor, terjerembab karena terbukti plagiat.
Ada contoh tokoh yang sebetulnya sudah layak menjadi simbol, tetapi menolak untuk menapaki jalur biru: Pak Otto Soemarwoto.
Sebagai redaktur opini Pikiran Rakyat, saya kadang tergelitik untuk mengetahui pandangan almarhum tentang pendidikan, agama, etika, dll. Ketika saya meminta beliau untuk menuliskan pandangan-pandangan yang keluar dari otoritas beliau sebagai pakar ekologi, beliau tetap menolak dengan halus.
Sampai akhir hayatnya di 2008 ini, nama beliau tetap harum tanpa cela.***(bersambung...)
KALAU saya transformasikan pemikiran Alan Lightman ke dalam bentuk visual, kira-kira grafisnya akan seperti di bawah ini.
Hierarkhi I dan II memerlukan otoritas (atau kalau menurut komentar pak Nanang, kompetensi). Tujuannya, agar si pemikir itu menjadi referens publik untuk isu-isu tertentu.
Hierarkhi III dicapai ketika ada public invitation, atau permintaan/undangan publik. Memasuki hierarki III ini, jalurnya berwarna biru. Artinya seseorang sudah menjadi simbol masyarakat. Dia yang menyuarakan sakit atau gembiranya rakyat.
Berwarna biru, karena saya ingin menekankan bahwa meskipun ada permintaan publik, maka si intelektual itu harus mempertimbangkan masak-masak. Di situ ada titik kritis yang menentukan kebesaran nama dia.
Begitu ada permintaan publik supaya Anda berbicara di luar otoritas Anda, maka pikirkanlah dengan matang apakah Anda akan menerima atau menolak.
Bila Anda menerima, maka sadarlah bahwa Anda menapaki jalur biru. Perhatikan garis responsibility nya pun makin meningkat. Ketika Anda menjadi simbol, maka tanggungjawab moral dan sosialnya ikut meningkat.
Nah...jika di jalur biru ini seorang intelektual melakukan kesalahan, atau sesuatu yang menurut publik salah, maka habislah dia.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), saya ingin mencontohkan sebuah pelajaran berharga. Aa Gym sebetulnya sudah menjadi simbol, meski bukan berangkat dari jalur intelektual publik.
Ketika beliau melakukan sesuatu yang dianggap salah (poligami), maka runtuhlah citra yang sudah belasan tahun dia bangun. Nama beliau sudah tidak kredibel lagi di mata publik. Beberapa contoh lain, Ibu Lutfiah Sungkar yang perceraiannya menjadi bulan-bulanan infotainment. Juga ada Amir Santoso yang hampir jadi profesor, terjerembab karena terbukti plagiat.
Ada contoh tokoh yang sebetulnya sudah layak menjadi simbol, tetapi menolak untuk menapaki jalur biru: Pak Otto Soemarwoto.
Sebagai redaktur opini Pikiran Rakyat, saya kadang tergelitik untuk mengetahui pandangan almarhum tentang pendidikan, agama, etika, dll. Ketika saya meminta beliau untuk menuliskan pandangan-pandangan yang keluar dari otoritas beliau sebagai pakar ekologi, beliau tetap menolak dengan halus.
Sampai akhir hayatnya di 2008 ini, nama beliau tetap harum tanpa cela.***(bersambung...)
Selasa, 01 Juli 2008
Intelektual Publik (7)
BUNG Danny Lim dari Belanda menanyakan, mengapa Bung Karno yang berlatar pendidikan arsitektur THS (ITB sekarang) menulis soal-soal politik?
Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya, pada diri manusia melekat berbagai macam otoritas. Bung Karno seorang berlatar belakang arsitektur. Dia juga seorang aktivis pergerakan. Maka saya melihat Bung Karno menggunakan otoritas sebagai orang pergerakan. Otoritas memang tidak selalu terkait dengan latar belakang pendidikan. Otoritas bisa juga karena aktivitas yang terus menerus, organisasi dan lain-lain. Yang penting, sekali lagi, jangan mengumbar terlalu banyak otoritas.
Soal Bung Karno ini juga bisa kita bahas dari posisi dia sebagai mahasiswa. Saya kira,ada sebuah otoritas kolektif dan spesial untuk mahasiswa. Mahasiswa secara kolektif merupakan moral force. Karena itu, mahasiswa - apa pun fakultas atau jurusannya-- punya otoritas membahas persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Namun, kalau membahas soal-soal teknis seperti teknologi, arsitektur dan sebagainya, si mahasiswa harus punya otoritas khusus, sesuai dengan latar belakang fakultas atau jurusannya.***(bersambung...)
Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya, pada diri manusia melekat berbagai macam otoritas. Bung Karno seorang berlatar belakang arsitektur. Dia juga seorang aktivis pergerakan. Maka saya melihat Bung Karno menggunakan otoritas sebagai orang pergerakan. Otoritas memang tidak selalu terkait dengan latar belakang pendidikan. Otoritas bisa juga karena aktivitas yang terus menerus, organisasi dan lain-lain. Yang penting, sekali lagi, jangan mengumbar terlalu banyak otoritas.
Soal Bung Karno ini juga bisa kita bahas dari posisi dia sebagai mahasiswa. Saya kira,ada sebuah otoritas kolektif dan spesial untuk mahasiswa. Mahasiswa secara kolektif merupakan moral force. Karena itu, mahasiswa - apa pun fakultas atau jurusannya-- punya otoritas membahas persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Namun, kalau membahas soal-soal teknis seperti teknologi, arsitektur dan sebagainya, si mahasiswa harus punya otoritas khusus, sesuai dengan latar belakang fakultas atau jurusannya.***(bersambung...)
Langganan:
Postingan (Atom)