Senin, 30 Juni 2008

Intelektual Publik (2)

MENULIS opini di media massa adalah bagian dari menulis populer. Menulis populer adalah salah satu cara untuk menjadi intelektual publik. Tentu menulis populer lain dengan menulis akademis.
Tradisi menulis populer di Amerika baru berumur 40 tahunan. Sebelum itu, para intelektual kampus/akademis tidak mau sharing opini dengan publik. Mereka menganggap tugas suci mereka adalah menyingkap rahasia-rahasia alam, bukan berurusan dengan publik yang tingkat "intelektualitasnya" lebih rendah dari pada mereka.
Menulis populer bagi mereka adalah kegiatan membuang-buang waktu. Menurut mereka, menulis populer adalah sebuah soft activity, bahkan feminine activity. Menara gading adalah tempat mereka.
Namun, pada akhir tahun 1950-an atau menjelang 1960, beberapa ilmuwan terkenal menulis buku-buku ilmiah secara populer. Mereka itu antara lain Steven Weinberg dengan bukunya "The First Three Minutes," yang menceritakan tiga menit setelah terjadinya Big Bang. Buku lain adalah "The Double Helix" karya James D. Watson, yang bercerita tentang DNA manusia. Juga ada Richard Feynman dengan "The Character of Physical Law," yang membahas tentang fisika modern. Buku lainnya, "Silent Spring" karya Rachel Carson yang mengupas bahaya penggunaan DDT (dichloro diphenyl Trichloretan).
Weiberg, Feyman, Watson, maupun Carson bercerita secara ringan, tidak banyak mengemukakan notas-notasi matematika atau notasi reaksi kimia. Publik pun tersadarkan dan segera mendapat horison baru. Nama-nama intelektual publik lainnya pun muncul, seperti Carl Sagan, misalnya.
Maka, sejak tahun 1960-an itulah tradisi menara gading di Amerika runtuh. Para pakar akademis pun mulai memperkenalkan diri kepada publik. Apalagi ada sindiran-sindiran bahwa mereka menjadi orang besar di dunia akademi karena dibayar oleh pembayar pajak (taxpayer).
Akhirnya, media massa dibanjiri artikel-artikel populer para akademisi ini. Media pun kerap mewawancarai para akademisi untuk memberikan perspektif terhadap berita aktual. Para dosen dan ilmuwan kemudian memperluas jangkauannya dengan mengirim artikel ke media massa. Mereka tidaklagi hanya sharing opini dengan kalangan terbatas melalui jurnal ilmiah (scholar journals). Mereka tidak hanya ingin terbatas sebagai intelektual akademis saja, tetapi juga ingin menjadi intelektual publik.
Tradisi intelektual publik di Indonesia sebetulnya sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia merdeka. Para pemimpin politik seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Yamin dan lain-lain, sejak kuliah sering memberikan pencerahan kepada publik. Jadi, mungkin tradisi intelektual publik kita tidak ketinggalan.*** (bersambung...)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sepakat, waktu itu saya pernah lihat-lihat kitab esai horison 1 dan 2, dan menurut saya kualitasnya tidak kalah kok dengan tulisan-tulisan luar. Bahkan saya cukup terkagum-kagum saat membacanya.