KITA ulang syarat intelektual publik: pengetahuan, otoritas, isu aktual (issues of the day), dan bahasa populer. Kita sudah membahas soal pengetahuan dan otoritas. Nah...kini kita bahas isu aktual.
Artikel di media massa itu sangat terkait dengan berita. Istilahnya, artikel itu adalah newspeg. Jadi, kalau sekarang lagi rame soal korupsi, jangan menulis soal bencana alam. Begitu pula sebaliknya.
Namun artikel bisa juga tidak bersifat newspeg, akan tetapi bisa terkait dekat dengan pembaca media tersebut. Misalnya, ketika koran Pikiran Rakyat yang terbit di Bandung sedang giatnya menurunkan tulisan tentang kenaikan bahan bakar minyak (BBM), tiba-tiba ada seorang ahli geologi ITB mengirimkan tulisan tentang teori baru tentang bagaimana mengeringnya danau Bandung purba. Selama ini orang Bandung yakin bahwa danau purba mengering melalui sebuah celah sungai Citarum yang bernama Sanghyang Tikoro. Namun, teori baru itu dibantah oleh geolog ini. Sang geolog menyebutkan, keringnya danau Bandung tidak melewati Sanghyang Tikoro, akan tetapi melalui daerah lain.
Tulisan di atas tentu tidak aktual dan tidak bersifat newspeg, namun sangat terkait dengan pemahamam lingkungan orang Bandung. Jadi, tetap menarik untuk ditulis.*** (bersambung...)
Sabtu, 26 Juli 2008
Kamis, 24 Juli 2008
Intelektual Publik (11)
BERDASARKAN gambaran konsep level analysis intelektual publik pada Intelektual Publik (10), maka saya ingin melengkapinya dengan contoh konkret. Untuk mudahnya, silakan perhatikan gambar ini:
Untuk mengukur kesehatan sebuah perusahaan, para ekonom telah mengajuk konsep CAMEL (capital, asset, manajemen, ekuiti, dan likuiditas). Saya bayangkan, para ekonom dan akuntan ini mengajukan konsep ini beserta penjelasan-penjelasan metode, perhitungan-perhitungan akutansi, dan lain-lain. Mungkin juga mereka mengerahkan perhitungan-perhitungan matematika ekonomi dan sederet perhitungan konseptual lainnya. Misalkan, apa sih yang disebut aset, apa itu tangible assets, atau intangible assets. Apa itu likuiditas: apakah deposito bisa digolongkan sebagai uang siap cair (likuid), ataukan yang disebut likuid itu uang cash di tangan (cash on hand)?
Ada juga ekonom yang mengajukan konsep return on asset (ROA) untuk mengukur berapa tambahan pendapatan dari setiap penambahan aset. Atau return on investment (ROI), yang mengukur berapa besar tambahan pendapatan dari setiap penambahan investasi.
Tentu saja hal-hal seperti itu terlalu konseptual, dan bukan menjadi urusan publik. Perdebatan seperti itu sangat cocok ditampilkan dalam jurnal ilmiah. Tentu saja yang bisa menikmati perdebatan ini adalah orang-orang terbatas, yaitu kelompok akademis atau ekonom saja.
Namun, ketika kita menggunakan konsep kesehatan perusahaan di atas untuk menyoroti kesehatan BUMN, dan misalkan kesimpulannya adalah bahwa rata-rata BUMN kita tidak sehat, maka tulisan itu sudah mulai cair. Pembacanya mulai meluas, tapi masih terbatas, yaitu para pembaca yang berpendidikan agak tinggi. Sedangkan orang-orang biasa (man on the street) belum tentu tertarik.
Nah, ketika kita mulai menarik lagi konsep itu ke bawah, maka pembacanya akan meluas. Misalkan perusahaan listrik negara (maaf pak PLN, ini contoh) kekurangan likuiditas. Untuk mengatasi itu, maka perusahaan listrik diperkirakan akan menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Maka tentu saja tarif listrik adalah menyangkut kepentingan semua orang. Tentu semua orang akan menikmati tulisan ini.
Jadi, untuk menulis populer dan menulis opini di media massa, bergeraklah dari level dua ke bawah. Jangan menulis di level atas.***(bersambung...)
Untuk mengukur kesehatan sebuah perusahaan, para ekonom telah mengajuk konsep CAMEL (capital, asset, manajemen, ekuiti, dan likuiditas). Saya bayangkan, para ekonom dan akuntan ini mengajukan konsep ini beserta penjelasan-penjelasan metode, perhitungan-perhitungan akutansi, dan lain-lain. Mungkin juga mereka mengerahkan perhitungan-perhitungan matematika ekonomi dan sederet perhitungan konseptual lainnya. Misalkan, apa sih yang disebut aset, apa itu tangible assets, atau intangible assets. Apa itu likuiditas: apakah deposito bisa digolongkan sebagai uang siap cair (likuid), ataukan yang disebut likuid itu uang cash di tangan (cash on hand)?
Ada juga ekonom yang mengajukan konsep return on asset (ROA) untuk mengukur berapa tambahan pendapatan dari setiap penambahan aset. Atau return on investment (ROI), yang mengukur berapa besar tambahan pendapatan dari setiap penambahan investasi.
Tentu saja hal-hal seperti itu terlalu konseptual, dan bukan menjadi urusan publik. Perdebatan seperti itu sangat cocok ditampilkan dalam jurnal ilmiah. Tentu saja yang bisa menikmati perdebatan ini adalah orang-orang terbatas, yaitu kelompok akademis atau ekonom saja.
Namun, ketika kita menggunakan konsep kesehatan perusahaan di atas untuk menyoroti kesehatan BUMN, dan misalkan kesimpulannya adalah bahwa rata-rata BUMN kita tidak sehat, maka tulisan itu sudah mulai cair. Pembacanya mulai meluas, tapi masih terbatas, yaitu para pembaca yang berpendidikan agak tinggi. Sedangkan orang-orang biasa (man on the street) belum tentu tertarik.
Nah, ketika kita mulai menarik lagi konsep itu ke bawah, maka pembacanya akan meluas. Misalkan perusahaan listrik negara (maaf pak PLN, ini contoh) kekurangan likuiditas. Untuk mengatasi itu, maka perusahaan listrik diperkirakan akan menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Maka tentu saja tarif listrik adalah menyangkut kepentingan semua orang. Tentu semua orang akan menikmati tulisan ini.
Jadi, untuk menulis populer dan menulis opini di media massa, bergeraklah dari level dua ke bawah. Jangan menulis di level atas.***(bersambung...)
Minggu, 06 Juli 2008
Intelektual Publik (10)
KALAU kita kembali ke definisi New York Times, syarat lain untuk disebut sebagai intelektual publik adalah bahwa dia mampu membahas persoalan-persoalan aktual atau issues of the day. Membahas isu aktual tanpa menyertakan pembahasan metodologi atau konsep sehingga bisa diterima publik.
Saya mencoba membuat model level analysis intelektual publik seperti di bawah ini:
Gambar di atas adalah model dua segi tiga yang saling terbalik. Model ini menggambarkan hubungan antara isu level isu yang dibahas dengan kemungkinan jumlah audience-nya.
Kalau kita menulis hal-hal konseptual (pada blok paling atas dari kedua segitiga), maka di sebelah kanan akan terlihat bahwa audience-nya terbatas. Paling yang tertarik membaca adalah para pakar di bidangnya. Publik tidak ada urusannya dengan tulisan-tulisan semacam ini. Tulisan-tulisan seperti itu adalah porsinya jurnal ilmiah (scholar journal).
Pada level yang lebih rendah, misalkan si intelektual publik sudah mulai mengoperasionalkan konsep itu menjadi semi konseptual dalam menganilisis persoalan aktual, maka pembacanya sudah mulai meluas, namun masih terbatas. Audience-nya sudah mulai meluas, tidak hanya kaum akademis atau kawan se level, namun juga publik kalangan intelektual menengah ke atas.
Nah...jika si intelektual publik sudah mulai semakin mengoperasionalkan konsep dalam membahas persoalan sehingga menyentuh kepentingan publik, maka tulisannya akan dibaca oleh semua kalangan (all audiences).
Intelektual publik bergerak dari level dua ke bawah. Dia tidak mengawang-awang di level atas. Level dua ke bawah adalah ruang gerak intelektual publik.
Karena itu, jika Anda ingin menulis di media, jangan menulis seperti textbook atau skripsi. Pasti redaktur akan malas menerimanya. Begitu juga kalau Anda berbicara, jangan yang mengawang-awang, karena ruang publik bukan ruang kelas pelajaran filsafat.
Di seri berikutnya, saya akan memberi contoh kasus.***
(bersambung...)
Saya mencoba membuat model level analysis intelektual publik seperti di bawah ini:
Gambar di atas adalah model dua segi tiga yang saling terbalik. Model ini menggambarkan hubungan antara isu level isu yang dibahas dengan kemungkinan jumlah audience-nya.
Kalau kita menulis hal-hal konseptual (pada blok paling atas dari kedua segitiga), maka di sebelah kanan akan terlihat bahwa audience-nya terbatas. Paling yang tertarik membaca adalah para pakar di bidangnya. Publik tidak ada urusannya dengan tulisan-tulisan semacam ini. Tulisan-tulisan seperti itu adalah porsinya jurnal ilmiah (scholar journal).
Pada level yang lebih rendah, misalkan si intelektual publik sudah mulai mengoperasionalkan konsep itu menjadi semi konseptual dalam menganilisis persoalan aktual, maka pembacanya sudah mulai meluas, namun masih terbatas. Audience-nya sudah mulai meluas, tidak hanya kaum akademis atau kawan se level, namun juga publik kalangan intelektual menengah ke atas.
Nah...jika si intelektual publik sudah mulai semakin mengoperasionalkan konsep dalam membahas persoalan sehingga menyentuh kepentingan publik, maka tulisannya akan dibaca oleh semua kalangan (all audiences).
Intelektual publik bergerak dari level dua ke bawah. Dia tidak mengawang-awang di level atas. Level dua ke bawah adalah ruang gerak intelektual publik.
Karena itu, jika Anda ingin menulis di media, jangan menulis seperti textbook atau skripsi. Pasti redaktur akan malas menerimanya. Begitu juga kalau Anda berbicara, jangan yang mengawang-awang, karena ruang publik bukan ruang kelas pelajaran filsafat.
Di seri berikutnya, saya akan memberi contoh kasus.***
(bersambung...)
Jumat, 04 Juli 2008
Intelektual Publik (9)
Jangan Jadi Intelektual Selebriti
Jangan Juga Big Brain Small Impact
JANGAN sering ingin muncul di media massa atau di depan publik, nanti kita akan terjerembab jadi intelektual selebriti. Seorang intelektual publik harus tahu kapan dia muncul di depan publik, atau di media massa.
Banyak teman-teman IT di ITB mencak-mencak kepada Roy Suryo. Mereka menuding Roy tidak punya kompetensi. Mereka menilai Roy lebih sebagai seorang selebriti, karena Roy selalu berusaha tampil di setiap momen: infotainment, pencarian black box Adam Air, sampai penemuan lagu Indonesia Raya versi yang lain dari yang sekarang.
Namun, teman-teman di ITB hanya bisa ngomel-ngomel. Mereka jarang menuliskan pendapatnya ini di media massa. Ya akibatnya, Roy lah yang menguasai jagat opini per-telematika-an.
Mungkin benar Roy adalah intelektual selebriti, namun teman-teman ITB yang enggan jadi intelektual publik juga bisa kita golongkan ke dalam kaum Big Brain, Small Impact.***(bersambung...)
Jangan Juga Big Brain Small Impact
JANGAN sering ingin muncul di media massa atau di depan publik, nanti kita akan terjerembab jadi intelektual selebriti. Seorang intelektual publik harus tahu kapan dia muncul di depan publik, atau di media massa.
Banyak teman-teman IT di ITB mencak-mencak kepada Roy Suryo. Mereka menuding Roy tidak punya kompetensi. Mereka menilai Roy lebih sebagai seorang selebriti, karena Roy selalu berusaha tampil di setiap momen: infotainment, pencarian black box Adam Air, sampai penemuan lagu Indonesia Raya versi yang lain dari yang sekarang.
Namun, teman-teman di ITB hanya bisa ngomel-ngomel. Mereka jarang menuliskan pendapatnya ini di media massa. Ya akibatnya, Roy lah yang menguasai jagat opini per-telematika-an.
Mungkin benar Roy adalah intelektual selebriti, namun teman-teman ITB yang enggan jadi intelektual publik juga bisa kita golongkan ke dalam kaum Big Brain, Small Impact.***(bersambung...)
Rabu, 02 Juli 2008
Intelektual Publik (8)
Jalur Otoritas
KALAU saya transformasikan pemikiran Alan Lightman ke dalam bentuk visual, kira-kira grafisnya akan seperti di bawah ini.
Hierarkhi I dan II memerlukan otoritas (atau kalau menurut komentar pak Nanang, kompetensi). Tujuannya, agar si pemikir itu menjadi referens publik untuk isu-isu tertentu.
Hierarkhi III dicapai ketika ada public invitation, atau permintaan/undangan publik. Memasuki hierarki III ini, jalurnya berwarna biru. Artinya seseorang sudah menjadi simbol masyarakat. Dia yang menyuarakan sakit atau gembiranya rakyat.
Berwarna biru, karena saya ingin menekankan bahwa meskipun ada permintaan publik, maka si intelektual itu harus mempertimbangkan masak-masak. Di situ ada titik kritis yang menentukan kebesaran nama dia.
Begitu ada permintaan publik supaya Anda berbicara di luar otoritas Anda, maka pikirkanlah dengan matang apakah Anda akan menerima atau menolak.
Bila Anda menerima, maka sadarlah bahwa Anda menapaki jalur biru. Perhatikan garis responsibility nya pun makin meningkat. Ketika Anda menjadi simbol, maka tanggungjawab moral dan sosialnya ikut meningkat.
Nah...jika di jalur biru ini seorang intelektual melakukan kesalahan, atau sesuatu yang menurut publik salah, maka habislah dia.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), saya ingin mencontohkan sebuah pelajaran berharga. Aa Gym sebetulnya sudah menjadi simbol, meski bukan berangkat dari jalur intelektual publik.
Ketika beliau melakukan sesuatu yang dianggap salah (poligami), maka runtuhlah citra yang sudah belasan tahun dia bangun. Nama beliau sudah tidak kredibel lagi di mata publik. Beberapa contoh lain, Ibu Lutfiah Sungkar yang perceraiannya menjadi bulan-bulanan infotainment. Juga ada Amir Santoso yang hampir jadi profesor, terjerembab karena terbukti plagiat.
Ada contoh tokoh yang sebetulnya sudah layak menjadi simbol, tetapi menolak untuk menapaki jalur biru: Pak Otto Soemarwoto.
Sebagai redaktur opini Pikiran Rakyat, saya kadang tergelitik untuk mengetahui pandangan almarhum tentang pendidikan, agama, etika, dll. Ketika saya meminta beliau untuk menuliskan pandangan-pandangan yang keluar dari otoritas beliau sebagai pakar ekologi, beliau tetap menolak dengan halus.
Sampai akhir hayatnya di 2008 ini, nama beliau tetap harum tanpa cela.***(bersambung...)
KALAU saya transformasikan pemikiran Alan Lightman ke dalam bentuk visual, kira-kira grafisnya akan seperti di bawah ini.
Hierarkhi I dan II memerlukan otoritas (atau kalau menurut komentar pak Nanang, kompetensi). Tujuannya, agar si pemikir itu menjadi referens publik untuk isu-isu tertentu.
Hierarkhi III dicapai ketika ada public invitation, atau permintaan/undangan publik. Memasuki hierarki III ini, jalurnya berwarna biru. Artinya seseorang sudah menjadi simbol masyarakat. Dia yang menyuarakan sakit atau gembiranya rakyat.
Berwarna biru, karena saya ingin menekankan bahwa meskipun ada permintaan publik, maka si intelektual itu harus mempertimbangkan masak-masak. Di situ ada titik kritis yang menentukan kebesaran nama dia.
Begitu ada permintaan publik supaya Anda berbicara di luar otoritas Anda, maka pikirkanlah dengan matang apakah Anda akan menerima atau menolak.
Bila Anda menerima, maka sadarlah bahwa Anda menapaki jalur biru. Perhatikan garis responsibility nya pun makin meningkat. Ketika Anda menjadi simbol, maka tanggungjawab moral dan sosialnya ikut meningkat.
Nah...jika di jalur biru ini seorang intelektual melakukan kesalahan, atau sesuatu yang menurut publik salah, maka habislah dia.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), saya ingin mencontohkan sebuah pelajaran berharga. Aa Gym sebetulnya sudah menjadi simbol, meski bukan berangkat dari jalur intelektual publik.
Ketika beliau melakukan sesuatu yang dianggap salah (poligami), maka runtuhlah citra yang sudah belasan tahun dia bangun. Nama beliau sudah tidak kredibel lagi di mata publik. Beberapa contoh lain, Ibu Lutfiah Sungkar yang perceraiannya menjadi bulan-bulanan infotainment. Juga ada Amir Santoso yang hampir jadi profesor, terjerembab karena terbukti plagiat.
Ada contoh tokoh yang sebetulnya sudah layak menjadi simbol, tetapi menolak untuk menapaki jalur biru: Pak Otto Soemarwoto.
Sebagai redaktur opini Pikiran Rakyat, saya kadang tergelitik untuk mengetahui pandangan almarhum tentang pendidikan, agama, etika, dll. Ketika saya meminta beliau untuk menuliskan pandangan-pandangan yang keluar dari otoritas beliau sebagai pakar ekologi, beliau tetap menolak dengan halus.
Sampai akhir hayatnya di 2008 ini, nama beliau tetap harum tanpa cela.***(bersambung...)
Selasa, 01 Juli 2008
Intelektual Publik (7)
BUNG Danny Lim dari Belanda menanyakan, mengapa Bung Karno yang berlatar pendidikan arsitektur THS (ITB sekarang) menulis soal-soal politik?
Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya, pada diri manusia melekat berbagai macam otoritas. Bung Karno seorang berlatar belakang arsitektur. Dia juga seorang aktivis pergerakan. Maka saya melihat Bung Karno menggunakan otoritas sebagai orang pergerakan. Otoritas memang tidak selalu terkait dengan latar belakang pendidikan. Otoritas bisa juga karena aktivitas yang terus menerus, organisasi dan lain-lain. Yang penting, sekali lagi, jangan mengumbar terlalu banyak otoritas.
Soal Bung Karno ini juga bisa kita bahas dari posisi dia sebagai mahasiswa. Saya kira,ada sebuah otoritas kolektif dan spesial untuk mahasiswa. Mahasiswa secara kolektif merupakan moral force. Karena itu, mahasiswa - apa pun fakultas atau jurusannya-- punya otoritas membahas persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Namun, kalau membahas soal-soal teknis seperti teknologi, arsitektur dan sebagainya, si mahasiswa harus punya otoritas khusus, sesuai dengan latar belakang fakultas atau jurusannya.***(bersambung...)
Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya, pada diri manusia melekat berbagai macam otoritas. Bung Karno seorang berlatar belakang arsitektur. Dia juga seorang aktivis pergerakan. Maka saya melihat Bung Karno menggunakan otoritas sebagai orang pergerakan. Otoritas memang tidak selalu terkait dengan latar belakang pendidikan. Otoritas bisa juga karena aktivitas yang terus menerus, organisasi dan lain-lain. Yang penting, sekali lagi, jangan mengumbar terlalu banyak otoritas.
Soal Bung Karno ini juga bisa kita bahas dari posisi dia sebagai mahasiswa. Saya kira,ada sebuah otoritas kolektif dan spesial untuk mahasiswa. Mahasiswa secara kolektif merupakan moral force. Karena itu, mahasiswa - apa pun fakultas atau jurusannya-- punya otoritas membahas persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Namun, kalau membahas soal-soal teknis seperti teknologi, arsitektur dan sebagainya, si mahasiswa harus punya otoritas khusus, sesuai dengan latar belakang fakultas atau jurusannya.***(bersambung...)
Senin, 30 Juni 2008
Intelektual Publik (6)
Alan Lightman dan Keluar dari otoritas
Dari reference ke simbol
Kapan seseorang secara etika boleh keluar dari otoritas dia?
Sebelum itu, saya ingin memperkenalkan hierarki intelektual publik, menurut Alan Lightman.
Level I : Intelektual publik berbicara tentang disiplin ilmunya. Dia belum mengaitkan disiplin ilmunya dengan realitas sosial di sekitarnya.
(Catatan: mungkin level ini cocok dalam penulisan buku ilmiah populer, tidak cocok untuk media massa karena artikel di media massa selalu dikaitkan dengan persoalan aktual masyarakat. Artikel di koran adalah newspeg atau terkait dengan berita.)
Kawan saya, Dr. T. Djamaluddin adalah ahli matahari di LAPAN. Beliau banyak menulis buku soal astronomi, matahari dsb. Ini adalah level 1.
Level II: Si intelektual publik mulai menggunakan disiplin ilmunya untuk menganalisis persoalan sosial kemasyarakatan.
Setiap menjelang Idulfitri, umat Islam selalu berbeda pendapat tentang jatuhnya hari suci itu. Nah...di sini Dr. T. Djamaluddin mulai membahas soal ini dengan pendekatan astronomi. Maka di sini disiplin ilmu dia diterapkan untuk menjawab persoalan kemasyarakatan.
Level I dan II tetap menuntut otoritas. Level I dan II mendorong si penulis menjadi rujukan publik (public reference).
Kapan seseorang boleh keluar dari disiplin ilmunya?
Menurut Alan Lightman, seseorang secara etika boleh keluar dari dispilin ilmunya, kalau ada permintaan publik!! (by invitation only)
Dan berarti dia memasuki Level III:
Setelah menjadi rujuan publik sekian lama, publik mungkin ingin mengetahui apa pandangan si intelektual publik tentang hal lain.
Ini terjadi pada Albert Einstein. Sekian puluh tahun orang mengenal Einstein sebagai jenius fisika. Lama kelamaan, orang ingin tahu apa pandangan Einstein tentang agama, etika dan pendidikan. Maka Einstein banyak diundang menulis dan berbicara soal-soal di luar fisika, seperti etika, seni, budaya dan agama. Bahkan setelah pensiun, Einstein tidak banyak berbicara soal fisika, dia lebih banyak bicara tentang filsafat, etika dan agama.
Nah...ketika ada permintaan publik seperti ini, seseorang boleh keluar dari disiplin otoritasnya. Seseorang yang sudah melewati Level III ini sudah bukan lagi hanya referens publik. Dia sudah menjadi simbol masyarakat. Dia menyuarakan susah dan gembiranya masyarakat.
Menurut saya orang-orang semacam Prof. Selo Soemardjan Almarhum, Nurcholish Madjid, dan banyak tokoh yang masih hidup lainnya sudah menjadi simbol.
Jadi, ikutilah alurnya Alan Lightman ini. Bersabarlah, dan taatlah pada otoritas, sampai suatu saat publik meminta ada keluar dari otoritas.
Banyak penulis pemula yang mengawali karir menulisnya terbalik. Mereka menulis berbagai hal. Mending kalau akhirnya menjadi satu, akan tetapi banyak yang terus menulis banyak hal.
Apakah kita harus selalu menerima setiap permintaan publik untuk keluar dari otoritas?
Tunggu seri berikutnya ya...***
(bersambung...)
Dari reference ke simbol
Kapan seseorang secara etika boleh keluar dari otoritas dia?
Sebelum itu, saya ingin memperkenalkan hierarki intelektual publik, menurut Alan Lightman.
Level I : Intelektual publik berbicara tentang disiplin ilmunya. Dia belum mengaitkan disiplin ilmunya dengan realitas sosial di sekitarnya.
(Catatan: mungkin level ini cocok dalam penulisan buku ilmiah populer, tidak cocok untuk media massa karena artikel di media massa selalu dikaitkan dengan persoalan aktual masyarakat. Artikel di koran adalah newspeg atau terkait dengan berita.)
Kawan saya, Dr. T. Djamaluddin adalah ahli matahari di LAPAN. Beliau banyak menulis buku soal astronomi, matahari dsb. Ini adalah level 1.
Level II: Si intelektual publik mulai menggunakan disiplin ilmunya untuk menganalisis persoalan sosial kemasyarakatan.
Setiap menjelang Idulfitri, umat Islam selalu berbeda pendapat tentang jatuhnya hari suci itu. Nah...di sini Dr. T. Djamaluddin mulai membahas soal ini dengan pendekatan astronomi. Maka di sini disiplin ilmu dia diterapkan untuk menjawab persoalan kemasyarakatan.
Level I dan II tetap menuntut otoritas. Level I dan II mendorong si penulis menjadi rujukan publik (public reference).
Kapan seseorang boleh keluar dari disiplin ilmunya?
Menurut Alan Lightman, seseorang secara etika boleh keluar dari dispilin ilmunya, kalau ada permintaan publik!! (by invitation only)
Dan berarti dia memasuki Level III:
Setelah menjadi rujuan publik sekian lama, publik mungkin ingin mengetahui apa pandangan si intelektual publik tentang hal lain.
Ini terjadi pada Albert Einstein. Sekian puluh tahun orang mengenal Einstein sebagai jenius fisika. Lama kelamaan, orang ingin tahu apa pandangan Einstein tentang agama, etika dan pendidikan. Maka Einstein banyak diundang menulis dan berbicara soal-soal di luar fisika, seperti etika, seni, budaya dan agama. Bahkan setelah pensiun, Einstein tidak banyak berbicara soal fisika, dia lebih banyak bicara tentang filsafat, etika dan agama.
Nah...ketika ada permintaan publik seperti ini, seseorang boleh keluar dari disiplin otoritasnya. Seseorang yang sudah melewati Level III ini sudah bukan lagi hanya referens publik. Dia sudah menjadi simbol masyarakat. Dia menyuarakan susah dan gembiranya masyarakat.
Menurut saya orang-orang semacam Prof. Selo Soemardjan Almarhum, Nurcholish Madjid, dan banyak tokoh yang masih hidup lainnya sudah menjadi simbol.
Jadi, ikutilah alurnya Alan Lightman ini. Bersabarlah, dan taatlah pada otoritas, sampai suatu saat publik meminta ada keluar dari otoritas.
Banyak penulis pemula yang mengawali karir menulisnya terbalik. Mereka menulis berbagai hal. Mending kalau akhirnya menjadi satu, akan tetapi banyak yang terus menulis banyak hal.
Apakah kita harus selalu menerima setiap permintaan publik untuk keluar dari otoritas?
Tunggu seri berikutnya ya...***
(bersambung...)
Intelektual Publik (5)
Otoritas dan Reference
OTORITAS diperlukan agar seseorang menjadi rujukan publik untuk isu-isu tertentu. Seseorang menajdi intelektual publik, jika publik secara otomatis mengaitkan isu tertentu dengan namanya.
Misalnya, ketika ada persoalan ekonomi, tiba-tiba publik teringat kepada Faisal Basri. Ketika ada isu lingkungan hidup, publik tiba-tiba ingat nama Otto Soemarwoto, dst. Maka Faisal Basri dan Otto telah menjadi rujukan publik untuk isu terkait.
Seseorang menjadi rujukan publik karena dia sering menulis satu bidang yang menjadi spesialisasinya, selama bertahun-tahun.
Karena itu, sekali lagi, menulislah apa yang menjadi otoritas Anda. Jangan menulis banyak hal, karena menulis seperti ini akan menjadikan Anda lebih sebagai intelektual selebriti. Mungkin nama Anda sering muncul, tapi publik semakin mengetahui betapa pengetahuan Anda ternyata dangkal (the more public he is, the less intellectual).
Nah...kalau pun Anda sudah mulai fokus pada otoritas, perhatikan pula frekuensi kemunculan Anda di media massa. Jangan terlalu sering. Dua bulan sekali di media massa yang sama sudah cukup.
Beberapa koran, seperi Kompas di antaranya, membatasi kemunculan tulisan dari seseorang yang sama, selama dua minggu.
Karena itu, beberapa media mengharuskan penulsi pemula untuk menyertakan CV ringkas. Tujuannya untuk mengetahui keterkaitan latar belakang si penulis dengan tulisannya.
Seseorang yang menulis di luar otoritasnya, maka tulisan itu dikategorikan sebagai surat pembaca saja.***(bersambung...)
OTORITAS diperlukan agar seseorang menjadi rujukan publik untuk isu-isu tertentu. Seseorang menajdi intelektual publik, jika publik secara otomatis mengaitkan isu tertentu dengan namanya.
Misalnya, ketika ada persoalan ekonomi, tiba-tiba publik teringat kepada Faisal Basri. Ketika ada isu lingkungan hidup, publik tiba-tiba ingat nama Otto Soemarwoto, dst. Maka Faisal Basri dan Otto telah menjadi rujukan publik untuk isu terkait.
Seseorang menjadi rujukan publik karena dia sering menulis satu bidang yang menjadi spesialisasinya, selama bertahun-tahun.
Karena itu, sekali lagi, menulislah apa yang menjadi otoritas Anda. Jangan menulis banyak hal, karena menulis seperti ini akan menjadikan Anda lebih sebagai intelektual selebriti. Mungkin nama Anda sering muncul, tapi publik semakin mengetahui betapa pengetahuan Anda ternyata dangkal (the more public he is, the less intellectual).
Nah...kalau pun Anda sudah mulai fokus pada otoritas, perhatikan pula frekuensi kemunculan Anda di media massa. Jangan terlalu sering. Dua bulan sekali di media massa yang sama sudah cukup.
Beberapa koran, seperi Kompas di antaranya, membatasi kemunculan tulisan dari seseorang yang sama, selama dua minggu.
Karena itu, beberapa media mengharuskan penulsi pemula untuk menyertakan CV ringkas. Tujuannya untuk mengetahui keterkaitan latar belakang si penulis dengan tulisannya.
Seseorang yang menulis di luar otoritasnya, maka tulisan itu dikategorikan sebagai surat pembaca saja.***(bersambung...)
Intelektual Publik (4)
Masih soal otoritas
TIDAK perlu merasa terpenjara dengan otoritas. Sebab, dengan otoritas malah kita bisa melihat persoalan dari sisi yang lain.
Pernah seorang perempuan mengeluh kepada saya betapa latar belakang dia sebagai guru taman kanak-kanak membatasi dia untuk mengupas kota Bandung. Saya minta dia memeras otak untuk meninjau kota Bandung dari segi perkembangan anak. Lumayan, dia bisa menulis kota Bandung dengan baik, dan dia bisa menyimpulkan betapa kota kembang ini bukan sebuah children-friendly city. Bandung ternyata kota yang tidak ramah kepada anak-anak.
Setiap keluar rumah menuju sekolah, anak-anak Bandung "menggadaikan" nyawanya ke jalan-jalan besar. Kasihan, ketika menyeberang menuju sekolah, anak-anak kita senantiasa terancam tertabrak oleh kendaraan.
Jadi, tidak perlu merasa terbelenggu oleh otoritas.***(bersambung...)
TIDAK perlu merasa terpenjara dengan otoritas. Sebab, dengan otoritas malah kita bisa melihat persoalan dari sisi yang lain.
Pernah seorang perempuan mengeluh kepada saya betapa latar belakang dia sebagai guru taman kanak-kanak membatasi dia untuk mengupas kota Bandung. Saya minta dia memeras otak untuk meninjau kota Bandung dari segi perkembangan anak. Lumayan, dia bisa menulis kota Bandung dengan baik, dan dia bisa menyimpulkan betapa kota kembang ini bukan sebuah children-friendly city. Bandung ternyata kota yang tidak ramah kepada anak-anak.
Setiap keluar rumah menuju sekolah, anak-anak Bandung "menggadaikan" nyawanya ke jalan-jalan besar. Kasihan, ketika menyeberang menuju sekolah, anak-anak kita senantiasa terancam tertabrak oleh kendaraan.
Jadi, tidak perlu merasa terbelenggu oleh otoritas.***(bersambung...)
Intelektual Publik (3)
JADI, apa itu intelektual publik?
Saya ambilkan definisi New York Times tentang intelektual publik (public intellectual).
"Intelektual publik adalah seseorang yang memiliki pengetahuan (knowledge), otoritas (authority), tentang isu-isu aktual (issues of the day), dan memiliki kemampuan menyampaikannya kepada publik."
Jadi ada empat hal yang menyebabkan seseorang menjadi intelektual publik: pengetahuan, otoritas, isu aktual, dan bahasa populer!
Pengetahuan dan otoritas
Seorang lulusan fakultas ilmu politik, mungkin saja punya pengetahuan (knowledge) tentang kedokteran, misalnya karena lingkungan keluarga atau teman-temannya adalah dokter.
Namun, ketika dia berbicara di depan publik, atau menulis di ruang publik, adalah tidak etis berbicara soal kedokteran, sebab dia tidak punya latar belakang kedokteran. Dia punya pengetahuan, tapi tidak punya otoritas.
Jadi, Anda harus fokus menulis apa yang menjadi otoritas Anda. Banyak penulis pemula yang ingin terlihat cerdas dan menguasai masalah. Dia menulis apa saja, mulai dari krisis kacang kedele, astronomi, pilkada, hingga persoalan Timur Tengah. Mungkin tulisannya bagus dari segi materi. Namun tetap saja dia melanggar etika intelektual publik.
Pada diri seseorang mungkin saja melekat berbagai otoritas. Dewi Lestari (Dee) misalnya. Dia adalah novelis, dia seorang ibu rumah tangga, dan dia seorang penyanyi. Maka Dee boleh berbicara soal novel, soal rumah tangga, atau soal dunia entertain. Namun etika intelektual publik membatasi seseorang untuk tidak mengumbar otoritasnya. Biasanya makasimal dua otoritas. Tiga masih sopan, tapi sudah agak abu-abu.***(bersambung...)
Saya ambilkan definisi New York Times tentang intelektual publik (public intellectual).
"Intelektual publik adalah seseorang yang memiliki pengetahuan (knowledge), otoritas (authority), tentang isu-isu aktual (issues of the day), dan memiliki kemampuan menyampaikannya kepada publik."
Jadi ada empat hal yang menyebabkan seseorang menjadi intelektual publik: pengetahuan, otoritas, isu aktual, dan bahasa populer!
Pengetahuan dan otoritas
Seorang lulusan fakultas ilmu politik, mungkin saja punya pengetahuan (knowledge) tentang kedokteran, misalnya karena lingkungan keluarga atau teman-temannya adalah dokter.
Namun, ketika dia berbicara di depan publik, atau menulis di ruang publik, adalah tidak etis berbicara soal kedokteran, sebab dia tidak punya latar belakang kedokteran. Dia punya pengetahuan, tapi tidak punya otoritas.
Jadi, Anda harus fokus menulis apa yang menjadi otoritas Anda. Banyak penulis pemula yang ingin terlihat cerdas dan menguasai masalah. Dia menulis apa saja, mulai dari krisis kacang kedele, astronomi, pilkada, hingga persoalan Timur Tengah. Mungkin tulisannya bagus dari segi materi. Namun tetap saja dia melanggar etika intelektual publik.
Pada diri seseorang mungkin saja melekat berbagai otoritas. Dewi Lestari (Dee) misalnya. Dia adalah novelis, dia seorang ibu rumah tangga, dan dia seorang penyanyi. Maka Dee boleh berbicara soal novel, soal rumah tangga, atau soal dunia entertain. Namun etika intelektual publik membatasi seseorang untuk tidak mengumbar otoritasnya. Biasanya makasimal dua otoritas. Tiga masih sopan, tapi sudah agak abu-abu.***(bersambung...)
Intelektual Publik (2)
MENULIS opini di media massa adalah bagian dari menulis populer. Menulis populer adalah salah satu cara untuk menjadi intelektual publik. Tentu menulis populer lain dengan menulis akademis.
Tradisi menulis populer di Amerika baru berumur 40 tahunan. Sebelum itu, para intelektual kampus/akademis tidak mau sharing opini dengan publik. Mereka menganggap tugas suci mereka adalah menyingkap rahasia-rahasia alam, bukan berurusan dengan publik yang tingkat "intelektualitasnya" lebih rendah dari pada mereka.
Menulis populer bagi mereka adalah kegiatan membuang-buang waktu. Menurut mereka, menulis populer adalah sebuah soft activity, bahkan feminine activity. Menara gading adalah tempat mereka.
Namun, pada akhir tahun 1950-an atau menjelang 1960, beberapa ilmuwan terkenal menulis buku-buku ilmiah secara populer. Mereka itu antara lain Steven Weinberg dengan bukunya "The First Three Minutes," yang menceritakan tiga menit setelah terjadinya Big Bang. Buku lain adalah "The Double Helix" karya James D. Watson, yang bercerita tentang DNA manusia. Juga ada Richard Feynman dengan "The Character of Physical Law," yang membahas tentang fisika modern. Buku lainnya, "Silent Spring" karya Rachel Carson yang mengupas bahaya penggunaan DDT (dichloro diphenyl Trichloretan).
Weiberg, Feyman, Watson, maupun Carson bercerita secara ringan, tidak banyak mengemukakan notas-notasi matematika atau notasi reaksi kimia. Publik pun tersadarkan dan segera mendapat horison baru. Nama-nama intelektual publik lainnya pun muncul, seperti Carl Sagan, misalnya.
Maka, sejak tahun 1960-an itulah tradisi menara gading di Amerika runtuh. Para pakar akademis pun mulai memperkenalkan diri kepada publik. Apalagi ada sindiran-sindiran bahwa mereka menjadi orang besar di dunia akademi karena dibayar oleh pembayar pajak (taxpayer).
Akhirnya, media massa dibanjiri artikel-artikel populer para akademisi ini. Media pun kerap mewawancarai para akademisi untuk memberikan perspektif terhadap berita aktual. Para dosen dan ilmuwan kemudian memperluas jangkauannya dengan mengirim artikel ke media massa. Mereka tidaklagi hanya sharing opini dengan kalangan terbatas melalui jurnal ilmiah (scholar journals). Mereka tidak hanya ingin terbatas sebagai intelektual akademis saja, tetapi juga ingin menjadi intelektual publik.
Tradisi intelektual publik di Indonesia sebetulnya sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia merdeka. Para pemimpin politik seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Yamin dan lain-lain, sejak kuliah sering memberikan pencerahan kepada publik. Jadi, mungkin tradisi intelektual publik kita tidak ketinggalan.*** (bersambung...)
Tradisi menulis populer di Amerika baru berumur 40 tahunan. Sebelum itu, para intelektual kampus/akademis tidak mau sharing opini dengan publik. Mereka menganggap tugas suci mereka adalah menyingkap rahasia-rahasia alam, bukan berurusan dengan publik yang tingkat "intelektualitasnya" lebih rendah dari pada mereka.
Menulis populer bagi mereka adalah kegiatan membuang-buang waktu. Menurut mereka, menulis populer adalah sebuah soft activity, bahkan feminine activity. Menara gading adalah tempat mereka.
Namun, pada akhir tahun 1950-an atau menjelang 1960, beberapa ilmuwan terkenal menulis buku-buku ilmiah secara populer. Mereka itu antara lain Steven Weinberg dengan bukunya "The First Three Minutes," yang menceritakan tiga menit setelah terjadinya Big Bang. Buku lain adalah "The Double Helix" karya James D. Watson, yang bercerita tentang DNA manusia. Juga ada Richard Feynman dengan "The Character of Physical Law," yang membahas tentang fisika modern. Buku lainnya, "Silent Spring" karya Rachel Carson yang mengupas bahaya penggunaan DDT (dichloro diphenyl Trichloretan).
Weiberg, Feyman, Watson, maupun Carson bercerita secara ringan, tidak banyak mengemukakan notas-notasi matematika atau notasi reaksi kimia. Publik pun tersadarkan dan segera mendapat horison baru. Nama-nama intelektual publik lainnya pun muncul, seperti Carl Sagan, misalnya.
Maka, sejak tahun 1960-an itulah tradisi menara gading di Amerika runtuh. Para pakar akademis pun mulai memperkenalkan diri kepada publik. Apalagi ada sindiran-sindiran bahwa mereka menjadi orang besar di dunia akademi karena dibayar oleh pembayar pajak (taxpayer).
Akhirnya, media massa dibanjiri artikel-artikel populer para akademisi ini. Media pun kerap mewawancarai para akademisi untuk memberikan perspektif terhadap berita aktual. Para dosen dan ilmuwan kemudian memperluas jangkauannya dengan mengirim artikel ke media massa. Mereka tidaklagi hanya sharing opini dengan kalangan terbatas melalui jurnal ilmiah (scholar journals). Mereka tidak hanya ingin terbatas sebagai intelektual akademis saja, tetapi juga ingin menjadi intelektual publik.
Tradisi intelektual publik di Indonesia sebetulnya sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia merdeka. Para pemimpin politik seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Yamin dan lain-lain, sejak kuliah sering memberikan pencerahan kepada publik. Jadi, mungkin tradisi intelektual publik kita tidak ketinggalan.*** (bersambung...)
Minggu, 29 Juni 2008
Intelektual Publik (1)
SERINGKALI saya meminta para pakar di kampus, atau kaum profesional untuk menulis di media massa. Ada yang menyambut ajakan ini. Namun ada juga yang skeptis.
Nah yang skeptis ini biasanya bertanya:
1.”Berapa sih honornya?”
Ketika saya ceritakan bahwa menulis di media massa memang ada honornya, akan tetapi jangan berharap bahwa honor ini akan besar. Mendengar penjelasan ini, tidak sedikit yang menolak.
2. “Ah menulis di koran itu bobot akademisnya (KUM) kecil.
3. “Menulis di koran itu membuang-buang waktu, dan tidak bergengsi dibandingkan menulis di jurnal ilmiah.”
Betul, menulis di koran itu tidak bisa memenuhui ketiga hal di atas, karena memang ketiga hal di atas bukan tujuan utama penulisan artikel opini.
Menulis opini adalah bagian dari menulis populer. Seseorang bisa menulis populer dengan menulis buku populer, atau menulis di media massa.
Menulios populer adalah sarana seseorang untuk menjadi intelektual publik. Inilah filosofi dasar itu!***(bersambung...)
Nah yang skeptis ini biasanya bertanya:
1.”Berapa sih honornya?”
Ketika saya ceritakan bahwa menulis di media massa memang ada honornya, akan tetapi jangan berharap bahwa honor ini akan besar. Mendengar penjelasan ini, tidak sedikit yang menolak.
2. “Ah menulis di koran itu bobot akademisnya (KUM) kecil.
3. “Menulis di koran itu membuang-buang waktu, dan tidak bergengsi dibandingkan menulis di jurnal ilmiah.”
Betul, menulis di koran itu tidak bisa memenuhui ketiga hal di atas, karena memang ketiga hal di atas bukan tujuan utama penulisan artikel opini.
Menulis opini adalah bagian dari menulis populer. Seseorang bisa menulis populer dengan menulis buku populer, atau menulis di media massa.
Menulios populer adalah sarana seseorang untuk menjadi intelektual publik. Inilah filosofi dasar itu!***(bersambung...)
Crayonpedia Initiative
TERINSPIRASI oleh kolaborasi massal dalam membuat Boeing 787 Dreamliner, maka saya dan beberapa teman di crayon community, terutama Pak Hemat Nur Dwiyanto, merasa perlu menciptakan sebuah sistem kolaborasi dalam bidang pendidikan. Dalam pertemuan tak sengaja (hanya 10 menit) di basement parkir masjid Salman Pak Hemat mengutarakan maksud itu. Saya terburu-buru karena sudah ditunggu oleh 150 orang crayoners. Dan tentu saja ide ini nyambung. Maka tak lama kemudian, dengan Pak Hemat membuat situs kolaborasi. Saya menamakannya Crayonpedia. Ini adalah akronim dari "create your own open education content pedia."
Maka jadilah situs www.crayonpedia.org.
Kami mengundang siapa pun yang punya materi ajar, pengalaman ajar mengajar, untuk dituliskan di situs ini, termasuk Anda yang belajar di luar negeri. Mudah-mudahan pengalaman ini biosa dibaca oleh guru-guru dan anak didik kita di seluruh Indonesia.
Sekarang, situs ini tengah terus disempurnakan.
Dr. Ary Akhmad akan mencangkokkan text to speech program, sehingga setiap teks akan berbunyi. Dengan demikian, kaum difabel, bisa juga menikmati materi-materi ajar.
KAmi mohon dukungan Anda di mana pun, mudah-mudahan crayonpedia bisa memperkecil kesenjangan materi ajar di negeri.***
Maka jadilah situs www.crayonpedia.org.
Kami mengundang siapa pun yang punya materi ajar, pengalaman ajar mengajar, untuk dituliskan di situs ini, termasuk Anda yang belajar di luar negeri. Mudah-mudahan pengalaman ini biosa dibaca oleh guru-guru dan anak didik kita di seluruh Indonesia.
Sekarang, situs ini tengah terus disempurnakan.
Dr. Ary Akhmad akan mencangkokkan text to speech program, sehingga setiap teks akan berbunyi. Dengan demikian, kaum difabel, bisa juga menikmati materi-materi ajar.
KAmi mohon dukungan Anda di mana pun, mudah-mudahan crayonpedia bisa memperkecil kesenjangan materi ajar di negeri.***
Kamis, 26 Juni 2008
Crayon Community
APRIL lalu di masjid Salman berdiri sebuah komunitas bernama Crayon Community. Crayon adalah akronim dari "Create Your Own News." Komunitas ini bertujuan mendorong setiap orang untuk tidak hanya menjadi konsumen informasi saja, akan tetapi juga prdusen informasi.
Maka, yang selama ini hobi membaca buku, kali ini harus membuat buku. Yang selama ini membaca puisi orang lain, kini harus menulis puisi sendiri. Yang selama ini membaca berita orang, kali ini harus membuat berita sendiri. Nah, untuk yang terakhir ini namanya citizen journalism. Yang dulunya tukang download, sekarang saatnya jadi uploader. Pokoknya, yang selama ini seorang konsumen informasi, dia harus jadi produsen informasi. Dalam era konvergensi, dia harus jadi produsen dan konsumen sekaligus atau prosumen.
Maksud pembentukan komunitas ini sebetulnya adalah menghadapi situasi ke depan. Akses ke dunia informasi akan semakin mudah, murah, dan cepat. Wimax misalnya, menjadikan kita akan ngebut di dunia maya. Tapi kalau perilaku kita masih sebagai konsumen, maka cilaka kita.
Padahal pengguna internet sekarang sudah 25 juta orang (meski yang sangat aktif kira-kira 5 juta saja). Tapi psar ini masih terbuka lebar. Dengan penduduk yang 230 juta, jika 30 juta saja berperilaku sebagai produsen, maka bangsa ini bisa "lompat katak" meninggalkan negeri-negeri lain.***
Langganan:
Postingan (Atom)